Beranda | Artikel
Beberapa Nasehat Untuk Para Guru
Senin, 19 September 2022

BEBERAPA NASEHAT UNTUK PARA GURU

Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya. Amma Ba’du:

Di bawah ini adalah sebagian wasiat yang aku wasiatkan kepada diriku dan kepada saudara-saudaraku, para guru dan aku memohon kepada Allah semoga nasehat ini bermanfaat.

Wasiat pertama: Mengikhlaskan niat untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata dalam menjalankan tugas mengajari anak-anak dan siswa mereka, mendidik mereka dengan pendidikan yang diridhai oleh Allah Azza Wa Jalla, bersabar atas yang demikian itu guna mendapat pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, mengharap balasan dari -Nya. Sebagian ulama berkata: Ikhlas adalah engkau tidak meminta seorang saksipun terhadap amal yang kamu kerjakan selain Allah Ta’ala dan tidak pula mengharap balasan kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah hakekat agama itu dan kunci dakwah para rasul Allah semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan kesejahteraan -Nya kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada -Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. [Al-Bayyinah/98: 5]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ١٦١ قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ   [الأنعام: 161- 163 ]

Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik“. Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi -Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [Al-An’am/6: 161-163].

Dan Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amal perbuatan, sebab suatu amalan tidak akan diterima oleh Allah kecuali jika dia telah memenuhi dua syarat:

Pertama: Zahir amal tersebut nampak sesuai dengan apa yang disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab -Nya atau telah dijelaskan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-mengadakan perkara baru dalam urusan agama kita ini maka dia tertolak”.[1]

Kedua: Amal tersebut dkerjakan ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amal tersebut tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan seperti apa yang diniatkannya”.[2]

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar. Dan dia berkata: Sesungguhnya suatu amalan kalau dikerjakan dengan penuh ikhlas namun tidak benar maka dia tidak akan diterima, dan apabila amal tersebut benar namun tidak dikerjakan dengan dasar ikhlas maka amal itupun tidak akan diterima sehingga amal tersebut ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah amal yang dikerjakan karena Allah dan amal yang benar adalah amal yang dikerjakan berdasarkan sunnah”.[3]

Diantara bukti utama bahwa seseorang menjalankan amal didasarkan pada keikhlasan adalah jika seorang hamba mengerjakan suatu amal shaleh dan dia tidak peduli terhadap penglihatan manusia baginya, bahkan jika amal tersebut dinisbatkan kepada orang lain maka hal itu sangat menggembirakannya, sebab dia menyadari bahwa amalnya dijaga di sisi Allah Ta’ala.

Dikatakan kepada Sahl Al-Tasatturi: Apakah yang paling sulit bagi jiwa ini?. Dia menjawab: Ikhlas sebab dia tidak memilki bagian apapun, yaitu bagian di dunia.

Wasiat ketiga: Bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan muraqabah kepada -Nya dalam kondisi rahasia dan terang-terangan. Taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah wasiat -Nya bagi orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Allah  subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَاِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوا اللّٰهَ  [النساء: 131 ]

“dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. [An-Nisa’: 131]

Dan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, selalu berwasiat kepada para shahabatnya agar mereka selalu bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, disebutkan di dalam hadits riwayat Irbadh bin Sariyah bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, bersabda.

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ, وَالسَّمْعِ وَالطَّاعةِ,

“Aku berwasiat kepada kalian agar bertqwa kepada Allah dan mendengar serta taat”.[4]

Thalaq bin Hubaib berkata, “Taqwa kepada Allah adalah engkau beramal dengan suatu amalan ketaatan dengan cahaya dari Allah, mengharap pahala dari Allah, dan meninggalkan bermaksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan takut akan siksa Allah”.

Waspada terhadap kemaksiatan baik yang besar atau yang kecil. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan untuk menghapus dosa-dosa yang kecil jika seseorang menjauhi dosa-dosa besar dan memasukkannya dalam golongan orang yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا [النساء: 31 ]

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). [An-Nisa’/4: 31]

Maksudnya adalah banyak kebaikan dan keberkahan, dan waspada terhadap dosa-dosa yang kecil. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Anas radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya kalian mengerjakan suatu amalan yang kalian anggap lebih kecil dalam pandangan mata kalian dari sehelai rambut namun kami menganggapnya sebagai pembinasa pada masa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam,”.[5]

Abu Abdullah mengatakan: Maksudnya amal tersebut bisa membinasakan.

Al-Auza’i berkata: Jangan engkau melihat kepada kecilnya kemaksiatan akan tetapi lihatlah kepada keagungan Zat yang engkau bermaksiat kepada -Nya”.

Wasiat keempat: Tauladan yang baik. Telah diketahui bahwa seorang siswa sangat terpengaruh oleh gurunya, senang mengikuti dan menirunya, maka wajib bagi para pendidik dan guru agar perbuatannya tidak bertentangan dengan perkataannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ ٢كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [As-Shaf/61: 2-3].

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi Syu’aib Alaihis salam:

قال الله تعالى: وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ [هود: 88 ]

Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan (mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. [Hud/11: 88]

Seorang penyair berkata:
Janganlah melarang suatu perbuatan sementara dirimu mengerjakannya
Cela yang besar jika kau melakukan tindakan seperti  yang demikian itu

Wasiat kelima: Berakhak yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى: وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا [الإسراء: 53 ]

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. [Al-Isro’/17: 53]

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالى:  وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.  [Fushilat/41: 34].

Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi di dalam sunannya dari Abi Darda’ bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, bersabda.

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ

“Tidak ada yang lebih berat bagi timbangan seorang hamba yang beriman pada hari kiamat dari akhlak yang baik dan Allah subhanahu wa ta’ala membenci orang yang berkata kotor lagi kasar”.[6]

Akhlak yang baik ini mencakup banyak sisi dari kehidupan seorang hamba yang beriman baik dalam segi perkataan atau perbuatan, ibadah kepada Allah, dalam berinteraksi sesama hamba. Abdullah bin Mubarok berkata, “Akhlak yang baik itu adalah wajah yang berseri, memberikan kebaikan, menolak gangguan dan bersabar terhadap perlakuan orang lain terhadap diri sendiri”.

Maka aku berwasiat kepada para guru agar mereka berakhlak yang baik terhadap teman-teman mereka, terhadap para siswa dan orang tua wali murid, dan hendaklah dia berinteraksi dengan mereka secara lembut.

Diriwayatakan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwa Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, bersabda.

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Sesungguhnya sikap lembut itu tidak terdapat dalam sesuatu kecuali dia akan menghiasinya dan tidaklah dia tercabut dari sesuatu kecuali dia akan menjadi cacat”.[7]

Dan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang paling baik akhlaknya, maka barangsiapa yang ingin sampai kepada akhlak yang tinggi maka hendaklah dia mentauladani Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam. Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi di dalam kitab sunannya dari Anas radhiyallahu’anhu berkata.

خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ سِنِينَ، فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ قَطُّ، وَمَا قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ، لِمَ صَنَعْتَهُ، وَلا لِشَيْءٍ تَرَكْتُهُ، لِمَ تَرَكْتَهُ‏؟‏ 

Aku telah mengabdi kepada Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, selama sepuluh tahun dan beliau tidak pernah berkata kepadaku “cih” sedikitpun, dan tidak pernah berkata kepadaku karena sesuatu yang aku kerjakan: Kenapa engkau perbuat?. Dan tidak pernah pula mencelaku karena sesuatu yang aku tinggalkan: Kenapa engkau tidak mengerjakannya?.[8]

Wasiat keenam: Hendaklah seorang guru berusaha untuk mendidik para siswanya dengan pendidikan yang baik, mengajarkan kepada mereka perkara keimanan dan keislaman, menanamkan rasa cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengagungkan -Nya di dalam hati mereka, menanamkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam,, menjelaskan kepada mereka tentang kewajiban mengikuti beliau dan beramal dengan sunnahnya, mengingatkan kewajiban mentauladani Rasulullah, mengajarkan kepada mereka adab-adab yang baik, akhlak yang mulia, seperti adab di dalam mesjid, atau majlis, menghormati guru dan orang yang lebih dewasa, adab terhadap teman dan shahabat, membiasakan mereka berkata yang baik, menjauhkan mereka dari kata-kata yang buruk dan pengajaran-pengajaran lainnya berupa adab yang baik dan sifat yang mulia.

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam, dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

[Disalin dari كلمة توجيهية للمدرسين   Penulis Syaikh Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi , Penerjemah : Muzaffar Sahidu, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
______
Footnote
[1] Al-Bukhari: 2/267 no: 2697 dan Muslim: 3/343 no: 1718
[2] Al-Bukhari: no: 1 dan Muslim: 3/1515 no: 1907
[3] Madarijus Salikin: 2/93
[4] Sunan Abi Dawud: no: 4607
[5] Al-Bukhari: no: 6492
[6] Al-Tirmidzi: 4/362 no: 2002 dan Al-Tirmidzi berkata: hadits hasan shahih
[7] Hr. Muslim: no: 2593
[8] HR. Turmudzi: 4/368 no: 2015 dan asalanya pada as-shahihain


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/61370-beberapa-nasehat-untuk-para-guru.html